Budidaya Malu Dikikis.... part 2

on Jumat, 24 Juli 2009

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan j alan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.

KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsure pertama di atas, kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka memperkosa, selalu dijawab 'karena terangsang sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya. ' Praktisi aborsi gelap menjadi tempat larian, bila kehamilan terjadi. Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meningga akibat dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.

Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi pro-kontra RUU APP.
Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontra menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini. Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya.

Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnaka n adalah perlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara anak-anak di Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak-anak kita belum, karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita sendiri.

Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Menguji Rasa Malu Diri Sendiri

Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, "Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah saya." Saya waktu itu belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi. Begini. Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi. Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik, maka karya saya itu pornografis.

Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bias melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa. Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal, Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia . Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.

Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia , saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televise dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak?

Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirak an-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang membaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan terangsang. Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.

Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa, umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.

Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alcohol dan narkoba yang tak kalah destruktifnya. Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya?

Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp 30.000 sekeping, kini Rp3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton sekeping CD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsen alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja-genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa.

Masih Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar